Oleh
Latihan Menghayal
Kalau ada orang yang berusaha mengajak kita untuk mengingat bagaimana perilaku Anda saat-saat berusia 2-5 tahun, maka Anda harus menolak. Sebab kalau Anda lakukan juga berarti anda sedang berlatih untuk menjadi penipu, jelas kita tak akan mampu mengingat bagaimana kita dalam usia yang sungguh belum memiliki daya ingat yang mantap.
Mau Untung atau Rugi?
Kalau tadi Anda serius menjalankan proses mengingat bagaimana perilaku manusia, niscaya sudah banyak informasi atau pelajaran yang diperoleh Anda saat ini. Sebaliknya karena Anda tidak serius dalam menjalankannya, maka tidak ada informasi yang Anda peroleh. Hanya saja jika ini yang Anda jadikan pilihan, maka Anda tergolong insan merugi, ucapan selamat bagi yang memikirkan apalagi menuliskan pikirannya sungguh pantas disampaikan (SELAMAT YA…), karena Anda baru saja mendapat banyak informasi atau pelajaran baru. Misalnya informasi atau pelajaran tentang dunia balita, dunia anak, dunia remaja, prestasi kerja, premanisme, kebiasaan guru yang menindas muridnya, dan lain sebagainya.
Tidak ada yang salah, karena memang apaun tindakan atau pikiran yang muncul dalam benak dan perilaku Anda, merupakan pilihan-pilahan otonom Anda sebagai manusia yang berstatus mulia dihadapan-Nya. Persoalannya adalah mau untung atau rugi? Jika mau untung, lihat lagi gambar tersebut, lalu pikirkan dan kemudian buatlah untaian cerita.
Dengan Alasan Me-Motivasi, Sekolah kita telah Menghianati Allah SWT
Kelas belajar kita pernah dilukiskan oleh Eep Syaefulloh Fatah dalam
“murid-murid bersorak gembira ketika jam sekolah berakhir, kegembiraan pun meluap setiap kali guru tidak hadir, walau ketidak hadirannya dikarenakan sakit. Bila jam istirahat tiba, para siswa bergegas keluar, seolah-olah pada jam sekolah mereka disiksa dan tertekan. Saat-nya datang ujian, para siswa seperti dihantui beban berat, dan berakhirnya ujian seolah masa bersejarah datangnya kemerdekaan. Suasana riang gembira pasca Ebtanas, sama sekali bukan karena hasinya baik, tapi karena terbebas dari pola penyeragaman. Bebas dari pakaian seragam, bebas dari upacara senin, juga bebas dari mengarang dan menggambar yang seragam.”
Dengan wajah mikro pendidikan seperti itu, anak yang tadinya menunjukkan potensi kreatif dalam bertindak, imajinatif dalam berpikir, terampil untuk bertanya, berani mengambil resiko, menjadi sosok yang bodoh karena tidak bisa menghafal, menjadi hina karena mendapat nilai lima, menjadi teralinasi karena tidak naik kelas, menjadi koruptor, menjadi preman dan menjadi guru yang mengulangi penghianatan atas kemuliaan penciptaan manusia. Sungguh ini sebuah penghianatan kepada Allah SWT. Jelas dalam Al-quran
Artinya:
“dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan-kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”
Tokoh Utama dibalik penghianatan
Sekolah dalam
Berangkat dari definisi di atas, kalau kita simplikasi sekolah sama dengan tempat belajar. Sedangkan keberlangsungan belajar baru akan kita temukan dalam ruang kelas. Dalam ruang kelas belajar itulah kita akan menemukan seorang guru dengan 40 orang murid, sebuah papan tulis usang, sebatang kapur yang patah-patah dalam sebuah kotak berwarna hijau, bangku-bangku dan meja-meja yang berjejer kebelakang hingga menjadi penghalang bagi proses interaksi antar manusia karena berat dan besar. Disni kita dapat menyimpulkan sebenarnya tokoh utama yang melakukan penghianatan.
Banyak alasan bermunculan untuk membenarkan peran guru dalam ruang kelas seperti itu, diantaranya adalah untuk memotivasi agar anak bisa belajar dengan tekun dan tertib, kemudian mendapatkan nilai tinggi dan pada ahirnya anak bisa berhasil lulus sekolah. Tentu mereka tidak peduli bagaimana akhlaq si anak, potensi anak dalam bermasyarakat, kemampuan anak dalam memecahkan masalah, dan bisa dipastikan pula mereka masa bodo terhadap potensi otonom manusia dalam menentukan pilihannya.
Me-Motivasi atau Membunuh?Menjadi guru atau orang tua yang mampu memproporsionalkan kemampuan anak, jelas bukan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan, yang mengherankan walau guru dan orang tua kita menyadari hal ini, namun tetap tidak mau belajar. Penulis pernah melakukan survei kecil-kecilan bahwa hampir 95% mahasiswa yang praktek mengajar atau sering dikenal dengan istilah micro teaching, cara mengajarnya tidak berangkat dari hasil belajar tentang metode belajar, melainkan berdasarkan pada ingatannya pada guru semasa mereka menjadi murid. Begitu pun yang terjadi dengan orang tua. Berdasarkan pengamatan penulis saat melatih para orang tua, bahwa mereka menjadi orang tua tidak berangkat dari hasil belajar bagaimana menjadi orang tua yang excellent, melainkan begini-begitu dulu orang tua si ini-si itu dalam mendidik anaknya dulu.
Sehinga anak diseterap karena tidak bisa mengahafal grammar dalam pelajaran bahasa inggris, anak dijemur karena mabok matematika, anak dipukul karena buang sampah sembarangan, anak dikurung dalam kamar mandi karena mengintrupsi, menjadi sebuah panorama yang memiliki estetika tersendiri . Begitupun dengan teriakan guru atau orang tua yang mengatakan anak bodoh, tolol, tidak punya otak seolah menjadi lagu reff yang dapat membangkitkan motivasi anak menjadi sosok yang jenius atau bermoral.
Walhasil memang anak-anak tersebut termotivasi , tapi bukan untuk menjadi seorang Thomas Alfha Edison atau Albert Einstein yang jenius itu, melainkan bangkit menjadi pencontek, plagiator, koruptor, pembolos, broken home, pecandu narkotika, dan segudang titel yang telah membunuh eksistensi manusia. Bagaimana dengan Anda? Anda yang Guru? Anda yang Orang Tua? Atau Anda yang akan menjadi Orang Tua?. Jangan zholimi anak-anak kita, sebaliknya mari muliakan mereka, itu pun kalau kita mau masuk surga.
Meretas jalan Memuliakan Anak
Kalau Anda pernah menonton film yang berjudul “I NOT STUPID”, mungkin Anda ingat gambar diawal film tersebut yang menayangkan sebuah gedung sekolah nan megah lagi menjulang tinggi disertai pagar kawat sebagai pembatas dengan masyarakat. Saat gambar itu ditampilakan Anda juga mendengar untaian kata dari murid dengan bahasa china, arti dari ucapan murid tersebut nampak nyata dilayar sebagai berikut: “ini penjara yang kami tempati, jangan tertipu dengan tampak depannya yang lembut, kami pernah alami kekejamannya. Mereka menjuluki kami dengan kelas tanpa bakat”. Anda bisa membayangkan kebencian anak tersebut terhadap orang-yang pernah mengajarnya di seoklah tersebut.
Pengalaman tersebut membawa penulis kedunia anak-anak kita. Saat ini mungkin mereka sedang asyik bermain dengan tetangga, ceria bersama alam terbuka. Atau sedang sedih, takut/ngeri karena harus pulang kerumah dan bertemu dengan kita, atau karena besok akan kembali ke sekolah, ke lokasi belajar ngaji (TPA/TPQ). Penulis percaya tidak ada guru atau orang tua yang mau dibenci oleh anak atau muridnya. Oleh karenanya jangan berbuat sesuatu yang bisa membawa mereka berpikir atau bertindak anarkis karena kebenciannya kepada kita. Sebaliknya, jika ingin dicintai oleh mereka, maka cintailah mereka. Jika CINTA sudah menjadi pondasi bagi kehadiran kita ditengah mereka, niscaya 75% upaya memotivasi mereka sudah tercapai, 25% nya lagi terletak pada kemampuan teknis kita dalam mengimplementasikan CINTA tersebut ke dalam praktik kelas (kelas ruang belajar di sekolah, di rumah atau di kelas belajar universal lainnya).
Menurut penelitian penulis buku “ The Learning Revolution” Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos:
“Berbagai praktek di kelas, perguruan tinggi dan bisnis, program pendidikan dan pelatihan yang baik, memiliki enam prinsip kunci. Sebagai orang yang belajar sepanjang hidup, anda akan dapat belajar lebih cepat, lebih singkat dan lebih mudah, jika keenam prinsip tersebut dikelola oleh seorang guru yang terlibat –(bukan seorang penceramah)- yang bertindak sebagai fasilitator, mengorkestrasikan faktor-faktor :
- Menciptakan kondisi yang menyenangkan (terbaik)
- Bentuk presentasi yang melibatkan semua indra, sekaligus releks, menyenangkan, bervariasi, dan menggairahkan
- Berpikir kreatif dan kritis untuk membantu proses internal
- Memberi rangsangan dalam mengakses materi pelajaran dengan permainan, lakon pendek, tindak dramatis serta berbagai kesempatan praktek
- Dihubungkan dengan praktek di luar sekolah, kondisi yang relevan, pekerjaan atau terapan nyata.
- Ulangi dan evaluasi secara teratur dan merayakan keberhasilan setiap saat.
0 Komentar:
Posting Komentar